Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia
Perubahan iklim mengancam dunia. Kekhawatiran akan dampak buruk perubahan iklim pada ketersediaan pangan mulai merebak di dunia. Sejak mantan Wakil Presiden AS Al Gore meluncurkan bukunya yang berjudul An Inconvenient Truth yang berisi fakta akibat perubahan iklim, para pemimpin dunia mulai menyadari mengenai bahaya perubahan iklim yang akan mengancam.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia pun turut dihantui kekhawatiran tersebut. Bagaimana tidak, jumlah penduduk yang besar tentunya membutuhkan pasokan pangan yang besar untuk memenuhi kebutuhan nasional. Jika tidak, krisis pangan akan melanda di seantero negeri ini.
Indonesia Krisis Pangan?
Berita di berbagai media belakangan ini mengenai krisis pangan seakan menjadi momok untuk menakuti masyarakat akan adanya krisis pangan. Sebenarnya, agak ironis ketika krisis pangan terjadi di sebuah negeri kaya yang sebagian besar masyarakatnya bergantung dari usaha pertanian. Indonesia menjadi negara agraris terbesar di dunia yang hampir 70% masyarakatnya hidup dari hasil pertanian. Sepertinya tak mungkin untuk mengalami krisis pangan.
Sayangnya, definisi krisis pangan yang sering diberitakan di media sepertinya dipersempit hanya pada beras semata. Padahal, makanan pokok yang ada di masyarakat Indonesia bukan hanya beras, tetapi juga jagung dan sagu serta umbi-umbian lainnya sebagai selingan. Sayangnya, jenis pangan lain kurang diperhatikan. Padahal manusia makhluk omnivore yang tidak hanya bergantung pada satu jenis bahan pangan. Beragam pangan lainnya yang bersumber dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, laut (ikan, rumput laut, garam), dan hutan (madu, jamur, pakis, porang) menjadi bahan panganan yang juga diperlukan manusia.
Krisis pangan di Indonesia sebenarnya bukan karena pasokan pangan yang berkurang drastis sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan lebih karena daya beli rakyat yang tak mampu untuk pangan yang harganya meningkat serta ketergantungan terhadap impor bahan pangan.
Sekitar 30 juta rakyat dalam kategori termiskin di Indonesia tak mampu membeli pangan dengan nutrisi memadai. Hal ini kontras sekali dengan kelas menengah ke atas yang leluasa mengonsumsi pangan. Restoran berkelas di kota besar penuh, juga warung pinggir jalan. Bahkan banyak makanan bersisa yang tak dihabiskan dibuang begitu saja. Mengatasi hal ini, pemerintah telah berupaya melalui program beras untuk rakyat miskin (Raskin). Sehingga tak ada lagi akses yang sulit untuk pemenuhan kebutuhan pangan pokok seperti beras.
Di sisi lain, impor bahan pangan terus meningkat. Setidaknya 465 ribu ton garam diimpor Indonesia dari Australia hingga Singapura. Padahal, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia mengalami surplus produksi garam 1,6 ton. Belum lagi impor bahan pangan lainnya yang terus meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Data yang simpang siur sebenarnya menjadi kendala utama dalam kasus impor ini. Jadi, masih pantaskan Indonesia mengalami krisis pangan?
Kedaulatan Pangan untuk Ketahanan Pangan Nasional
Sebagai negara agraris yang dianugerahi tanah subur di khatulistiwa dan dapat berproduksi sepanjang tahun seharusnya membuat negeri kita menjadi pemasok bahan pangan tropis dunia, bukan sebagai pengkonsumsi dan pengimpor bahan pangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian produksi padi tahun lalu mencapai 69,04 juta ton, atau naik 5 persen dibanding 2011. Begitu juga produksi jagung, yang tahun lalu naik 9,8 persen menjadi 19,4 juta ton. Sedangkan kedelai naik tipis, yakni 0,11 persen, menjadi 852 ribu ton pada 2012.
Produksi bahan pangan utama seperti beras terus naik. Setidaknya, itulah yang didapat dari data Kementerian Pertanian. Lalu, apakah negeri kita sudah mencapai kedaulatan pangan? Kedaulatan pangan menjadi sangat penting ketika suatu bangsa berbicara mengenai ketahanan pangan(food security). Mustahil bagi suatu bangsa untuk menciptakan stabilitas pangan ketika kedaulatan pangannya belum terwujud. Dengan kata lain, kedaulatan pangan harus terlebih dahulu dicapai sebelum mewujudkan ketahanan pangan.
Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah tanpa campur tangan dari pihak asing. Dengan adanya kedaulatan pangan tersebut, ketahanan pangan baru bisa terwujud.
Sebenarnya, kunci keberhasilan menciptakan ketahanan pangan nasional adalah pada keragaman pangan. Saat ini dalam masyarakat kebanyakan hanya mengenal beras sebagai pasokan utama karbohidrat. Padahal, Indonesia sangat kaya dengan bahan pangan lain yang juga mengandung karbohidrat.
Pada suatu kesempatan di sebuah pameran, ketika mengunjungi stand Yayasan Kehati, saya berkesempatan mengikuti sebuah games tebak tepung yang notabene mengandung karbohidrat. Ada tepung ubi ungu, pisang, garut, mocaf, sukun, ganyong, dan cassava. Tepung-tepun ini jika diperkenalkan kepada masyarakat bisa menjadi alternative pangan yang juga bergizi. Selain itu, umbi-umbian yang terkadang dilupakan bisa menjadi pilihan lain memenuhi kebutuhan karbohidrat. Sayangnya, kebiasaan ini belum banyak dilakukan di masyarakat Indonesia.
Ide menjadikan bahan pangan lokal pengganti beras dari umbi-umbian diharapkan mampu menjawab tantangan ketahanan pangan di negeri ini. Yang diperlukan adalah bagaimana menjadikan umbi-umbi tersebut sebagai tuan rumah di negerinya, memiliki kesempatan yang sama dengan beras. Kedaulatan pangan dengan sendirinya akan tercipta di masyarakat tanpa adanya tekanan dari pihak lain.
Dislaimer: Essay ini ditulis pada 2013 untuk mengikuti kegiatan Youth Camp Young Locavore dari Aliansi Desa Sejahtera
Referensi :
www.antaranews.com
www.bps.go.id
www.kedaulatanpangan.net
www.kehati.or.id
www.spi.or.id
Kedaulatan Pangan untuk Ketahanan Pangan Nasional
Sebagai negara agraris yang dianugerahi tanah subur di khatulistiwa dan dapat berproduksi sepanjang tahun seharusnya membuat negeri kita menjadi pemasok bahan pangan tropis dunia, bukan sebagai pengkonsumsi dan pengimpor bahan pangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian produksi padi tahun lalu mencapai 69,04 juta ton, atau naik 5 persen dibanding 2011. Begitu juga produksi jagung, yang tahun lalu naik 9,8 persen menjadi 19,4 juta ton. Sedangkan kedelai naik tipis, yakni 0,11 persen, menjadi 852 ribu ton pada 2012.
Produksi bahan pangan utama seperti beras terus naik. Setidaknya, itulah yang didapat dari data Kementerian Pertanian. Lalu, apakah negeri kita sudah mencapai kedaulatan pangan? Kedaulatan pangan menjadi sangat penting ketika suatu bangsa berbicara mengenai ketahanan pangan(food security). Mustahil bagi suatu bangsa untuk menciptakan stabilitas pangan ketika kedaulatan pangannya belum terwujud. Dengan kata lain, kedaulatan pangan harus terlebih dahulu dicapai sebelum mewujudkan ketahanan pangan.
Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah tanpa campur tangan dari pihak asing. Dengan adanya kedaulatan pangan tersebut, ketahanan pangan baru bisa terwujud.
Sebenarnya, kunci keberhasilan menciptakan ketahanan pangan nasional adalah pada keragaman pangan. Saat ini dalam masyarakat kebanyakan hanya mengenal beras sebagai pasokan utama karbohidrat. Padahal, Indonesia sangat kaya dengan bahan pangan lain yang juga mengandung karbohidrat.
Pada suatu kesempatan di sebuah pameran, ketika mengunjungi stand Yayasan Kehati, saya berkesempatan mengikuti sebuah games tebak tepung yang notabene mengandung karbohidrat. Ada tepung ubi ungu, pisang, garut, mocaf, sukun, ganyong, dan cassava. Tepung-tepun ini jika diperkenalkan kepada masyarakat bisa menjadi alternative pangan yang juga bergizi. Selain itu, umbi-umbian yang terkadang dilupakan bisa menjadi pilihan lain memenuhi kebutuhan karbohidrat. Sayangnya, kebiasaan ini belum banyak dilakukan di masyarakat Indonesia.
Ide menjadikan bahan pangan lokal pengganti beras dari umbi-umbian diharapkan mampu menjawab tantangan ketahanan pangan di negeri ini. Yang diperlukan adalah bagaimana menjadikan umbi-umbi tersebut sebagai tuan rumah di negerinya, memiliki kesempatan yang sama dengan beras. Kedaulatan pangan dengan sendirinya akan tercipta di masyarakat tanpa adanya tekanan dari pihak lain.
Dislaimer: Essay ini ditulis pada 2013 untuk mengikuti kegiatan Youth Camp Young Locavore dari Aliansi Desa Sejahtera
Referensi :
www.antaranews.com
www.bps.go.id
www.kedaulatanpangan.net
www.kehati.or.id
www.spi.or.id
Post a Comment