Cerita Tentang Festival Sarongge : Melestarikan Budaya, Merawat Alam
Sarongge adalah sebuah Kampung di Cianjur Jawa Barat. Letaknya tak begitu jauh dari Jakarta, juga tak terlalu terpencil dari kampung di pedalaman Kalimantan sana. Apa yang membuat Sarongge berbeda dari kampung kebanyakan? Inilah awal mula cerita ini dituliskan.
Pertama
kali mendengar kata ‘Sarongge’
beberapa bulan lalu, ketika salah seorang kakak fasilitator organisasiku
menawarkan produk sayuran organik hasil panen warga Sarongge. Beberapa kali, beberapa teman di organisasiku pun kesana.
Itulah yang membuat rasa penasaranku akan Sarongge.
Beberapa bulan kemudian ketika melihat informasi mengenai diadakannya Festival Sarongge pun aku merasa inilah
waktu yang tepat untuk berkunjung ke Sarongge.
Yap, Here we go!
****
Sarongge
hampir sama dengan desa kebanyakan. Ketika menginjakkan kaki di sana, hamparan
kebun sayuran akan menyapa kita seraya memanggil untuk kita lewati satu
persatu. Sayuran-sayuran segara yang menghijau mendominasi. Di sisi lainnya,
perkebunan teh menutupi hampir sebagian besar wilayahnya. Sarongge adalah tempat penelitian teh terbesar di Asia Tenggara. Beragam
jenis teh yang saat ini beredar di nusantara berasal dari Sarongge. Di kejauhan, gunung Gede menjulang menambah keindahan Sarongge.
Festival Sarongge
adalah sebuah acara tahunan yang diadakan oleh masyarakat Sarongge sebagai wujud perayaan kemerdekaan. Festival Sarongge saat ini merupakan yang ke-tiga kalinya diadakan.
Masih terbilang cukup muda memang untuk sebuah acara rakyat. Ada beragam
kegiatan adat yang diadakan selama Festival
Sarongge. Aku sendiri tidak mengikuti semuanya, hanya menjadi bagian dari
suatu perayaan ini. Yang berbeda dari Festival
Sarongge adalah perpaduan antara Budaya dan Alam yang coba diangkat.
Beberapa
acara utama Festival yang dimeriahkan oleh warga berkisar tentang budaya dan
adat sebagai cara beryukur atas melimpahnya hasil alam berupa sayuran. Dalam festival
kali ini, ada kegiatan ekowisata yang diikuti oleh pengunjung dari Jakarta.
Disinilah aku terlibat. Kegiatan ini diinisiasi oleh Green Initiative Foundation (GIF). GIF sejak tahun 2012 telah
melakukan pendekatan kepada warga Sarongge
untuk membantu pemberdayaan masyarakat dalam melakukan konservasi hutan yang
mulai gundul berbasis masyrakat. Hasilnya kini Sarongge tampak lebih asri dan sejahtera.
Ekowisata di Sarongge
Seperti
ekowisata kebanyakan, ekowisata yang coba dikembangkan di Sarongge mencoba untuk melibatkan masyarakat sebagai pemeran utamanya.
Dari parkiran mobil, pengunjung akan menaiki sebuah mobil pick-up menuju Saung Sarongge, sebuah rumah besar terbuat
dari kayu tempat berkumpul dan bermusyawarah warga. Sensasi melewati jalan yang
berliku dengan deretan kebun sayur dan kebun teh ditambah Gunung Gede yang
menjulang di kejauhan menambah ketenangan untuk tak segera beranjak dari Sarongge.
Sabtu
itu, usai pembukaan festival di panggung utama, kami menuju saung menggunakan
pick-up. Menu makan siang siap untuk disantap. Makanan khas sunda ditemani
semilir angin dan bukit-bukit yang menghiasi pemandangan di luar saung membuat
lebih lahap menyantap makan siang. Agenda setelah makan siang adalah sesi
diskusi dengan pihak GIF mengenai peluncuran buku barunya dan diskusi dengan
tokoh dan warga di Sarongge.
Usai
sesi diskusi, saatnya untuk mengikuti sesi Organic
Tour dan Workshop membuat sabun sereh dan Flanel. Organic Tour menawarkan pengunjung untuk berkeliling di kebun
organik melihat-lihat kebun organik yang coba dikembangkan oleh pemuda desa Sarongge. Ada brokoli, bawang daun, kol,
tomat, dan wortel. Semuanya tampak hijau menggoda. Selain kebun sayur, ada juga
peternakan kambing dan kelinci. Bagi warga kota, jalan-jalan di antara
perkebunan seperti ini menghadirkan sensasi ‘norak’ tersendiri.
Di
bagian dalam saung, Ibu Entin asyik mengajarkan cara membuat sabun sereh. Sabun sereh berguna sebagai pengusir nyamuk. Dengan bahan alami, sabun sereh lebih baik dibandingkan
dengan sabun yang beredar di pasaran saat ini. Karena kandungan bahan-bahan
yang ada di sabun sereh yang dibuat
kita bisa mengetahuinya secara langsung.
Dalam
ekowisata ini, ada dua tipe pengunjung. Mereka yang menginap di Homestay dan Camp di Camping Ground. Aku sendiri kebagian
untuk menginap di homestay bersama dengan teman-teman volunteer lainnya. Menginap di homestay
memberikan kita pengalaman yang berbeda dibandingkan dengan menginap di hotel. Di
homestay kita akan berinteraksi
langsung dengan sang pemilik rumah sehingga suasana yang tercipta lebih hangat.
Hari
minggunya, pengunjung yang bermalam di homestay
akan mengikuti sesi Tea Walk
mengeliling kebun teh Sarongge. Pak
Dayat yang kebetulan memandu Tea Walk
menjelaskan berbagai hal terkait kebun teh di Sarongge. Beberapa kebun terlihat kering lantaran serangan hama
ulat. Berjalan-jalan di perkebunan teh yang sambung-menyambung memberikan
kebahagiaan tersendiri. Apalagi langit pagi masih membiru dengan mentari yang
belum terlalu terik. Usai berjalan-jalan di kebun teh, Pak Dayat menjelaskan
tentang bagaimana membuat dan menghasilkan teh yang baik.
Sabtu
pagi itu, salah satu atraksi yang menggoda untuk dilihat adalah karnaval Dongdang. Dongdang adalah
sebuah replica saung kecil yang di pikul bersama-sama, diiringi oleh beragam longmarch mulai dari pelajar PAUD hingga
sekolah menengah dan para warga. Tergambar jelas kreativitas warga dari
karnaval ini. Beragam ide-ide unik dan menarik menjadi ciri khas warga Sarongge di Karnaval tersebut. Mereka tidak
mengkhawatirkan menang atau kalah, karena kebersamaan dan kekompakan warga
menjadi hal paling utama.
Malamnya,
seni pertunjukka pencak silat menjadi penampilan yang menghiasi panggung. Kolecer atau baling-baling sederhana
dari bambu berputar-putar kala di tiup angina paginya. Sebagian warga khusyuk
dengan ‘Ngaruat Cai’ atau Ruwatan
untuk mata air di Sarongge agar warga
diberikan keberkahan dan keterlimpahan air untuk mengaliri perkebunan mereka.
Itulah
tentang Sarongge, sebuah desa kecil
di Cianjur, Jawa Barat. Minggu sore kami bergegas untuk kembali ke Jakarta.
menyisakan lelah dan kenangan atas alam pedesaan yang selalu kami rindukan.
Depok,
4 September 2015
Bamsutris
Catatan
: setelah sempat tertunda beberapa waktu akhirnya memaksakan diri untuk
menuliskan cerita saat di Sarongge.
Tags : Features Pemuda Relawan Teknik Lingkungan Untuk Indonesia
Saya tertarik dengan artikel yang ada di website anda yang berjudul " CERITA TENTANG FESTIVAL SARONGGE : MELESTARIKAN BUDAYA, MERAWAT ALAM ".
ReplyDeleteSaya juga mempunyai jurnal yang sejenis yang bisa anda kunjungi di Pariwisata Indonesia