Thursday, September 15, 2016

Self Learning : Learn to be Distracted

Someone told me today that he couldn’t do all his work because of distraction. When he was trying to start the work, the distraction always broke his focus and lost all his concentration. As the consequence, he need to do all the work at night, when he was supposed to take a rest after all day in the office.

We know that there are some different type of people. The people can do anything in the trouble environment, or the people need more concentration in the silence. Which type are you determining your success in your work.

I believe that these type of habit during work could be improved, depend on we want to improve it or not. When we always need more silence to finish all our work, this does not mean that we always need more concentration. We cannot always get lucky environment that support us to do that. Sometimes, we get distraction, or even in the rush situation. You never believe when in rush condition your tention will raise up and your brain couldn’t think clearly?

That’s the important to learn to be distracted. We can start with reading in the busy environment, reading near volume up music, or in the public transportation.

Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia


Perubahan iklim mengancam dunia. Kekhawatiran akan dampak buruk perubahan iklim pada ketersediaan pangan mulai merebak di dunia. Sejak mantan Wakil Presiden AS Al Gore meluncurkan bukunya yang berjudul An Inconvenient Truth yang berisi fakta akibat perubahan iklim, para pemimpin dunia mulai menyadari mengenai bahaya perubahan iklim yang akan mengancam.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia pun turut dihantui kekhawatiran tersebut. Bagaimana tidak, jumlah penduduk yang besar tentunya membutuhkan pasokan pangan yang besar untuk memenuhi kebutuhan nasional. Jika tidak, krisis pangan akan melanda di seantero negeri ini.

Indonesia Krisis Pangan?

Berita di berbagai media belakangan ini mengenai krisis pangan seakan menjadi momok untuk menakuti masyarakat akan adanya krisis pangan. Sebenarnya, agak ironis ketika krisis pangan terjadi di sebuah negeri kaya yang sebagian besar masyarakatnya bergantung dari usaha pertanian. Indonesia menjadi negara agraris terbesar di dunia yang hampir 70% masyarakatnya hidup dari hasil pertanian. Sepertinya tak mungkin untuk mengalami krisis pangan.

Sayangnya, definisi krisis pangan yang sering diberitakan di media sepertinya dipersempit hanya pada beras semata. Padahal, makanan pokok yang ada di masyarakat Indonesia bukan hanya beras, tetapi juga jagung dan sagu serta umbi-umbian lainnya sebagai selingan. Sayangnya, jenis pangan lain kurang diperhatikan. Padahal manusia makhluk omnivore yang tidak hanya bergantung pada satu jenis bahan pangan. Beragam pangan lainnya yang bersumber dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, laut (ikan, rumput laut, garam), dan hutan (madu, jamur, pakis, porang) menjadi bahan panganan yang juga diperlukan manusia.

Krisis pangan di Indonesia sebenarnya bukan karena pasokan pangan yang berkurang drastis sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan lebih karena daya beli rakyat yang tak mampu untuk pangan yang harganya meningkat serta ketergantungan terhadap impor bahan pangan.

Sekitar 30 juta rakyat dalam kategori termiskin di Indonesia tak mampu membeli pangan dengan nutrisi memadai. Hal ini kontras sekali dengan kelas menengah ke atas yang leluasa mengonsumsi pangan. Restoran berkelas di kota besar penuh, juga warung pinggir jalan. Bahkan banyak makanan bersisa yang tak dihabiskan dibuang begitu saja. Mengatasi hal ini, pemerintah telah berupaya melalui program beras untuk rakyat miskin (Raskin). Sehingga tak ada lagi akses yang sulit untuk pemenuhan kebutuhan pangan pokok seperti beras.
Di sisi lain, impor bahan pangan terus meningkat. Setidaknya 465 ribu ton garam diimpor Indonesia dari Australia hingga Singapura. Padahal, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia mengalami surplus produksi garam 1,6 ton. Belum lagi impor bahan pangan lainnya yang terus meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Data yang simpang siur sebenarnya menjadi kendala utama dalam kasus impor ini. Jadi, masih pantaskan Indonesia mengalami krisis pangan?

Kedaulatan Pangan untuk Ketahanan Pangan Nasional

Sebagai negara agraris yang dianugerahi tanah subur di khatulistiwa dan dapat berproduksi sepanjang tahun seharusnya membuat negeri kita menjadi pemasok bahan pangan tropis dunia, bukan sebagai pengkonsumsi dan pengimpor bahan pangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian produksi padi tahun lalu mencapai 69,04 juta ton, atau naik 5 persen dibanding 2011. Begitu juga produksi jagung, yang tahun lalu naik 9,8 persen menjadi 19,4 juta ton. Sedangkan kedelai naik tipis, yakni 0,11 persen, menjadi 852 ribu ton pada 2012.

Produksi bahan pangan utama seperti beras terus naik. Setidaknya, itulah yang didapat dari data Kementerian Pertanian. Lalu, apakah negeri kita sudah mencapai kedaulatan pangan? Kedaulatan pangan menjadi sangat penting ketika suatu bangsa berbicara mengenai ketahanan pangan(food security). Mustahil bagi suatu bangsa untuk menciptakan stabilitas pangan ketika kedaulatan pangannya belum terwujud. Dengan kata lain, kedaulatan pangan harus terlebih dahulu dicapai sebelum mewujudkan ketahanan pangan.

Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah tanpa campur tangan dari pihak asing. Dengan adanya kedaulatan pangan tersebut, ketahanan pangan baru bisa terwujud.

Sebenarnya, kunci keberhasilan menciptakan ketahanan pangan nasional adalah pada keragaman pangan. Saat ini dalam masyarakat kebanyakan hanya mengenal beras sebagai pasokan utama karbohidrat. Padahal, Indonesia sangat kaya dengan bahan pangan lain yang juga mengandung karbohidrat.

Pada suatu kesempatan di sebuah pameran, ketika mengunjungi stand Yayasan Kehati, saya berkesempatan mengikuti sebuah games tebak tepung yang notabene mengandung karbohidrat. Ada tepung ubi ungu, pisang, garut, mocaf, sukun, ganyong, dan cassava. Tepung-tepun ini jika diperkenalkan kepada masyarakat bisa menjadi alternative pangan yang juga bergizi. Selain itu, umbi-umbian yang terkadang dilupakan bisa menjadi pilihan lain memenuhi kebutuhan karbohidrat. Sayangnya, kebiasaan ini belum banyak dilakukan di masyarakat Indonesia.

Ide menjadikan bahan pangan lokal pengganti beras dari umbi-umbian diharapkan mampu menjawab tantangan ketahanan pangan di negeri ini. Yang diperlukan adalah bagaimana menjadikan umbi-umbi tersebut sebagai tuan rumah di negerinya, memiliki kesempatan yang sama dengan beras. Kedaulatan pangan dengan sendirinya akan tercipta di masyarakat tanpa adanya tekanan dari pihak lain.

Dislaimer: Essay ini ditulis pada 2013 untuk mengikuti kegiatan Youth Camp Young Locavore dari Aliansi Desa Sejahtera


Referensi :
www.antaranews.com
www.bps.go.id
www.kedaulatanpangan.net
www.kehati.or.id
www.spi.or.id

Monday, September 5, 2016

Catatan Festival Baliem 2016 : Lembah Baliem, Surganya Papua

Beautiful Wamena
Jum’at lalu, aku sedang menunggu conneting flight kepulanganku ke tanah jawa. Perjalanan yang tak pernah terencanakan sebelumnya, namun terasa begitu sayang bila hanya disimpan di memori yang akan menguap bersama waktu.
---
Rasa penasaran itu hilang. Perjalanan belasan jam dari Jakarta yang kami tempuh membuat kami hilang semangat. Menunggu connecting flight yang membosankan, ditambah delayed yang tanpa kepastian membuat kami ingin segera sampai dan beristirahat. Tubuh rasanya lengket, mata sayu karena kurang tidur.
Pesawat kami baru tiba di Bandara Wamena sekitar pukul 11.00 waktu setempat. Ketika kaki pertama kali turun dari pesawat, udara segar Wamena berhembus menyapa kami. Barisan pegunungan tangah dan deretan awan yang menggelayut rendah seakan menyambut kedatangan kami. Tubuh ini seakan kembali terisi ulang setelah baterai semangat kami hampir habis.
Bukan hanya kami, terlihat rombongan turis asing menatap takjub saat tiba di Wamena. Terlihat orang lokal yang beratribut lengkap hanya mengenakan koteka ramai menyambut kedatangan kami. Seketika mereka menjadi pusat perhatian kami, mengalahkan pesona barisan pegunungan tengah yang mengelilingi bandara. Welcome to Papua!
Kami berenam dari Jakarta. Empat dari kami adalah pemenang essay; Mas Habibi, Mas Anas, Mbak Annisa dan aku sendiri yang menggantikan Faqih, sedangkan dua lagi merupakan jurnalis pemenang doorprize; Mas Hari dan Mbak Widia. Sebelum menuju penginapan, Mbak Andini, Liason Officer (LO) kami selama berada di Wamena mengenalkan dua orang yang juga dari Jakarta yaitu Mas Abe dan Mas Vidi dari Net TV. Lengkaplah kami sebagai tim media, itulah sebutan mereka untuk kami.
Setelah sedikit chit-chat tentang Wamena, Mbak Andini menginstruksikan driver taksi bandara yang sudah di sewanya untuk mengantar kami ke hotel. Kami sudah sangat lelah saat itu dan perlu istirahat segera sebelum melihat-lihat sekitar
---

Festival Budaya Lembah Baliem, Festival Tertua di Tanah Papua

Atraksi perang-perangan di Festival Lembah Baliem 2016
Atraksi perang-perangan di Festival Lembah Baliem 2016
Wa..wa..wa..wa..
Suara gemuruh dikejauhan terdengar riuh. Sekelompok Suku Dhani riuh seakan mengumandangkan pekikan semangat. Lelaki hanya mengenakan koteka dan tubuh berlumur pewarna hitam pekat dengan beberapa strip putih khas di bagian wajah, sedangkan lengan memegang tombak yang siap ditancapkan ke musuh. Mereka berlari ke arena seakan siap menghabisi lawannya untuk berperang. Di belakangnya, Mamak-mamak ikut berlari dengan hanya mengenakan Sali, penutup bagian bawah tubuh dari rajutan alang-alang tanpa penutup bagian tubuh atas. Di kepalanya sebuah noken besar hasil rajutannya menggantung sebagai tempat membawa perbekalan.
Fotografer hilir mudik takjub melihat apa yang terjadi. Kameranya siaga memotret setiap detil momen yang ada. Sebagian besar didominasi turis asing. Mereka jauh-jauh ke tanah Papua hanya untuk menyaksikan ini. Ya, hari itu Festival Budaya Lembah Baliem 2016 dimulai. Festival budaya yang tua, namun tak cukup terkenal lantaran aksesnya yang memang tak mudah. Juga kurangnya dukungan pemerintah pusat sebagai ikon wisata yang perlu dikembangkan.
Adanya perhelatan akbar Festival Budaya Lembah Baliem merupakan salah satu cara pemerintah untuk meredam perang antar suku yang sering terjadi. Tanah papua didiami oleh beberapa suku asli yang terbagi dalam beberapa distrik. Suku Dhani merupakan suku terbesar yang mendiami Lembah Baliem. Sejak tahun 1989, Festival Budaya Lembah Baliem dijadikan sebagai wadah ekspresi untuk meredam perang suku yang sering terjadi.
Festival Budaya Lembah Baliem kali ini memasuki perhelatan yang ke-27 kali. Ini merupakan festival budaya tertua di tanah Papua. Pada festival ini, para suku dari beragam distrik menampilkan atraksi kebudayaan mereka masing-masing lengkap dengan atribut khasnya. Atraksi yang ditampilkan berupa perang-perangan, tarian daerah, karapan babi, prosesi bakar batu dan kerajinan membuat noken.
Festival diadakan di sebuah lapangan yang sudah dipersiapkan sebelumnya yang berada di distrik Walesi. Tanah yang berwarna cokelat mengkilau di terpa sinar matahari berpadu dengan keindahan Pegunungan tengah yang melingkupi lapangan tempat festival. Siapa yang tak akan tertakjub melihat atraksi budaya yang terlihat begitu ‘primitif’ dari Suku Dhani di tengah modernitas Zaman? Hawa terik tak membuat mereka surut semangat, bahkan lebih bersemangat dari kami yang hanya menonton dan memotret.
Festival hari itu cukup ramai. Ribuan warga lokal mendominasi. Turis asing dari bumi eropa dan asia pun tak kalah dengan perlengkapan kamera nya yang lengkap. Pak Bupati dan jajarannya serta beberapa Dubes negara sahabat dari Eropa pun turut menyaksikan perhelatan akbar tersebut. Memandang dari tribun pengunjung atraksi yang luar biasa di kejauhan, sesekali melihat sekeliling panorama pegunungan tengah yang menenteramkan.
Perhelatan Festival Budaya Lembah Baliem 2016 berlangsung selama 3 hari. Ada sekitar 40 distrik yang berpartisipasi. Beberapa datang dari tempat yang lumayan jauh dan sebenarnya sudah bukan bagian dari Kabupaten Jayawijaya karena sudah menjadi Kabupaten tersendiri seperti Tolikara dan Yalimo. Festival ini seperti menjadi magnet pemersatu. Tercatat lebih dari 10 ribu pengunjung memadati festival tersebut selama tiga hari, 800an diantaranya merupakan turis asing.
Satu hal yang memenuhi kepalaku saat itu. “Apakah mereka – Suku Dhani- sehari-hari berpakaian seperti itu?
---

Baliem Arabika, Kopi Wamena yang Mendunia

Wamena terkenal dengan kopinya. Kopi wamena yang khas. Jenis kopi arabika ini tumbuh subur di Lembah Baliem. Konon, kopi ini dibawa oleh Belanda memasuki Papua, lalu terus bertumbuh hingga sekarang. Kopinya di ekspor ke berbagai mancanegara. Sayang, petani kadang kurang dukungan untuk mengembangkan kopinya dan tidak memiliki akses banyak untuk itu.
Sore hari usai beristirahat beberapa saat di hotel, rombongan kami mengunjungi salah satu kelompok petani kopi di Jagara, Wamena yang dipimpin oleh Pak Maximus. Pak Maximus merupakan warga lokal asli Papua yang giat untuk memimpin beberapa petani mengembangkan pertanian kopinya. Baliem Arabika hanya bisa tumbuh di ketinggian lebih dari 1000 mdpl. Di Lembah Baliemlah kopi tersebut tumbuh subur. Kopi-kopi ditanam menggunakan pupuk alami kompos hasil buatan sendiri sehingga menghasilkan cita rasa organik yang khas.

Pak Maximus dan Petani Kopi di Jagara
Pak Maximus dan Petani Kopi di Jagara
Pak Maximus bercerita selama ini dukungan pemerintah belum serius untuk mengembangkan ekonomi para petani kopi. Pemerintah hanya memberikan modal, lalu modal itu habis tanpa hasil. Yang diperlukan sebenarnya adalah bimbingan bagi para petani kopi dalam mengembangkan produknya agar bisa terus sustain.
Sayangnya, aku bukan termasuk pecinta kopi. Tetapi melihat biji kopi yang belum masak hingga yang telah siap untuk diseduh terasa begitu menggoda. Biji-biji itu terasa padat, hitam dan beraoma khas. Saat diseduh, aromanya terasa begitu nikmat seraya ingin mencobanya.
Ah, Baliem Arabika memang menggoda. Aku menyempatkan membeli beberapa bungkus saat festival untuk dibawa pulang. Mungkin ada keluarga atau teman yang mau mencicipi kenikmatannya. 
---




Wamena, Kemakmuran bagi Pendatang

Berjalan-jalan di Kota Wamena, kita tidak akan sulit untuk menemukan kaum pendatang. Singgahlah ke toko atau warung makan. Disana kita akan mendapati bahwa yang menjual makanan bukanlah orang lokal Papua, tetapi kaum pendatang yang berasal dari luar Papua seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, dll. Hampir semua pemilik dan penjual beraneka dagangan di Kota didominasi oleh kaum pendatang.
Pada malam welcoming dinner pembukaan Festival Lembah Baliem yang dihadiri oleh Bupati, tidak hanya kesenian khas Papua yang ditampilkan, tetapi juga kesenian dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Kaum pendatang ini biasanya memiliki paguyubannya masing-masing. Ada Paguyuban Batak, Jawa, Toraja, Manado, Bali, dll. Paguyuban ini membuat Wamena multicultural, meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan orang lokal Papua itu sendiri. 

Kaum pendatang biasanya menamakan mereka sebagai LaBeWa atau Lahir besar di Wamena. Mereka telah tinggal di Wamena sejak puluhan tahun lalu. Maka jika ada yang menanyakan “Kau orang mana?” “Aku orang Wamena, Bapak” Begitulah jawabnya. Kota Wamena bukan hanya milik orang lokal saja, tetapi juga kaum pendatang. 

Kaum pendatang inilah yang membuat Wamena semakin maju. Beragam produk dibawanya dari tanah jawa untuk memenuhi kebutuhan di Wamena. Kota Wamena sama seperti kota kabupaten kebanyakan, berbagai akses dan peradaban tumbuh pesat di kota. Kaum Pendatang mengambil banyak peluang di Kota sebagai pejabat ataupun pengusaha, baik skala kecil ataupun besar. Sisanya adalah orang lokal. 

Sejak peradaban di Lembah Baliem semakin maju, orang lokal mulai mengenal dunia luar. Bagi mereka yang cepat merespon adanya kemajuan peradaban segera mengambil berbagai peluang yang ada. Seperti Pak Bupati yang merupakan putera daerah asli Wamena. Sisanya, bagi mereka yang anti ataupun belum tersentuh oleh dunia luar akan jauh tertinggal. 

Di pinggiran kota, Mamak-mamak Suku Dhani membawa noken berisi sayur-mayur hasil kebun sendiri untuk dijajakan di pasar. Mereka mengandalkan ubi sebagai makanan pokoknya. Sementara di Kota, bagi mereka yang sudah mengenal peradaban, membiasakan diri untuk mengikuti kaum pendatang yang mengkonsumsi nasi. 

Hasil penjualan sayur-mayur tentu tak seberapa. Berbanding terbalik dengan harga makanan yang dijajakan di tiap rumah makan di Kota. Harganya bahkan melambung lebih tinggi dari harga-harga di Jawa. Hal ini lantaran sulitnya akses untuk mendatangkan barang-barang kebutuhan tersebut. Akses satu-satunya untuk mendatangkan kebutuhan dari luar adalah menggunakan pesawat kargo. 

Suatu waktu kami makan siang di sebuah warteg sederhana, layaknya warteg yang ada di Jakarta. Penjualnya adalah keturunan Sunda yang sejak kecil sudah tinggal di Wamena, namun dengan logat khas sunda-papua. Saat membayar, ternyata kami menghabiskan Rp 150ribu untuk bertiga. Harga segelas es teh manis adalah 15ribu, sedangkan tanpa gula Rp 10ribu.

Tak jauh dari situ, aku melihat seorang anak kecil yang menjajakan pinang serta sirihnya. Pinang menjadi jajanan khas di Wamena sebagai penghangat tubuh, pengganti rokok yang harganya (mungkin) cukup mahal. Orang lokal suka makan buah pinang, dikunyahnya hingga berwarna merah. Katanya itu membantu menghangatkan tubuh dari dinginnya udara Wamena. Sayangnya, pinang bukan berasal dari Wamena. Buahnya didatangkan langsung dari Jayapura. Saat festival, aku tak sengaja melihat cairan merah yang hampir mengering di tanah. Bertebaran. Awalnya kukira adalah darah hewan yang terkena tombak. Ternyata itu adalah kunyahan pinang. Maka tak heran bila di Wamena disediakan tempat untuk meludah. Fungsinya adalah untuk menampung ludah kunyahan pinang agar tak dibuang sembarangan. Namun, tetap saja kebiasaan seperti ini akan memerlukan usaha yang lebih untuk mengubahnya.

Menyusuri Pasar Jibama, dominasi mamak-mamak menjajakan sayuran hasil kebunnya berjejer rapi. Sayurannya terlihat segar karena tanpa pupuk buatan. Di bagian yang terpisah, kiosk-kiosk kelontong dari kaum pendatang menjajakan barang dagangan yang tidak biasa, didatangkan dari luar Wamena. Keduanya terlihat kontras, memisahkan satu dan lainnya.

Namun di kota saat menghadiri karnaval, Mamak-mamak menggandeng anaknya untuk turut serta dalam karnaval, menjadi bagian dari pawai siswa sekolah yang cukup meriah. Lagi, dominasi wajah pendatang masih terlihat dalam barisan peserta karnaval.

Mungkin kesenjangan yang ada akan hilang seiring berjalannya waktu. Ketika pendidikan dinilai sebagai kebutuhan utama untuk meningkatkan kualitas hidup. Seperti Pak Yali, Kepala Suku di Distrik Kurulu yang mengizinkan anaknya menjadi salah satu perwira Polisi. Ia pun sudah melanglang buana ke berbagai negara, fotonya khas terpampang di Bandara Wamena. Saat berkunjung ke distriknya untuk melihat Mummy bersama Pak Polda dan beberapa Dubes, Pak Yali akrab menyapa dengan hanya mengenakan Koteka. Ia tetap tampil apa adanya, meski anaknya sudah menjadi perwira.
---

Lembah Baliem, Eksotisme Pegunungan Tengah Papua

Lembah Baliem terlihat begitu eksotis. Dengan kekhasan iklim tropis tersendiri yang membuatnya lebih spesial dibandingkan dengan daerah lainnya. Hari kedua perayaan festival, kami pergi ke Habema Lake. Mungkin danau ini merupakan danau tertinggi yang ada di Indonesia. Letaknya saja berada pada ketinggian 3300 mdpl. Bahkan hampir menyamai Puncak Gunung Slamet yang tingginya sekitar 3400an mdpl.

Dengan ketinggian seperti itu, kami pun harus menggunakan kendaraan yang tidak biasa. Bukan dengan jalan kaki seperti naik gunung di Jawa kebanyakan. Disini, mobil Strada menjadi andalan untuk menaklukan pegunungan tengah papua yang belum terjamah.

Habema Lake
Habema Lake
Habema Lake terletak di Taman Nasional Lorents. Vegetasinya sudah sangat berbeda sekali disini. Karena dinginnya, dominasi lumut hampir menutupi seluruh ekosistemnya. Tak jauh dari Habema Lake, puncak Trikora berdiri dengan gagah. Puncak Trikora merupakan puncak ketiga tertinggi di Indonesia dengan ketinggian mencapai 4750 mdpl. Jika cuaca cerah, dari kejauhan kita bisa melihat lapisan es di atas puncaknya. 

Perjalanan kami hari itu diselimuti kabut dan cuaca yang tidak bersahabat. Iring-iringan mobil Strada yang membawa rombongan Dubes dan dikawal oleh Polda mengantar kami melihat indahnya Habema Lake dari ketinggian. Nuansa musim gugur mendominasi warna vegetasi; cokelat redup, lembap dan berair. Karena dinginnya, tak ada penduduk yang tinggal disini. Beberapa kali terlihat tenda sementara para tukang kayu yang mengambil kayu. Ilegal sebenarnya. Tetapi kebanyakan dari mereka menggunakan kayunya untuk kebutuhan sendiri, bukan untuk komersil.

Di hari keempat sebelum kepulangan kami esoknya, kami berkunjung ke Baliem Valley Resort, sebuah Resort pribadi yang terletak di ketinggian jauh dari pusat kota. Kami menyebutnya Hotel Jerman karena didirikan oleh orang Jerman dibawah naungan PT. Indonesia-Jerman Bersatu. Tak sembarang tamu bisa menginap disini. Meskipun jauh dari pusat kota, namun hotel ini memiliki fasilitas kamar standar internasional.

Menuju ke Hotel Jerman, kita akan disuguhkan oleh mahakarya Tuhan yang luar biasa. Bukit-bukit yang terlihat rendah dari kejauhan dan savana yang mendominasi menjadi perpaduan yang sempurna. Hari itu cuaca sangat cerah. Langit biru menjadi latar yang sempurna di foto kami. Dari Hotel Jerman, saat melihat ke kejauhan, kita akan melihat puncak Trikora yang menjulang tinggi. Berdiri gagah di antara pegunungan tengah.

Menikmati kopi baliem arabika sembari memandangi Puncak Trikora di kejauhan dari balkon restoran Hotel Jerman menjadi suguhan yang sempurna di hari itu. Untuk berkunjung ke Hotel Jerman, setiap pengunjung dikenakan biaya Rp 20ribu (tamu tanpa menginap).



Suasana balkon dari restoran di Hotel Jerman
Suasana balkon dari restoran di Hotel Jerman
Usai dari Hotel Jerman, kami melanjutkan perjalanan ke White Sand. White Sand adalah pasir putih yang berada di salah satu bukit. Pasirnya benar-benar putih, juga lebih halus dari pasir pantai kebanyakan. Konon, Wamena dulunya adalah lautan. Namun, karena proses geologi akhirnya berubah menjadi lembah yang menyisakan pasir putih. Danau air asin yang berada di Wamena menjadi penguat hal itu.

Berfoto dengan latar belakangan pegunungan tengah Papua yang khas dengan awan putihnya yang rendah ditemani langit biru yang cerah menjadi pemandangan yang biasa di Wamena. Tempat disenggarakannya Festival Lembah Baliem pun menurutku menjadi salah satu tempat perayaan festival paling keren yang pernah kutemui. Budaya dan alam khas Papua yang menyatu memberikan sihir tersendiri bagi siapa saja yang melihatnya untuk merasa takjub.

Dalam sebuah pesan ke seorang teman aku menuliskan, “You should come here by yourself to see the amazing of Papua...”. Yeah, kalian harus datang sendiri untuk melihat dan merasakan keindahannya. Indonesia is always beautiful! :)
---

Suka Dhani dan Modernitas Zaman



Suku Dhani
Suku Dhani

Pertama kali melihat orang lokal yang menyambut kami di Bandara Wamena dengan hanya mengenakan Koteka, aku heran sekaligus bertanya, “Apakah mereka benar-benar belum tersentuh peradaban?”

Suku Dhani menjadi suku mayoritas di Lembah Baliem. Perayaan Festival Lembah Baliem menjadi ajang untuk memperkenalkan budaya asli suku-suku di pegunungan tengah papua kepada dunia luar. Bukan untuk mengubahnya ke arah modernitas, tetapi untuk terus menjaganya menjadi sebuah warisan budaya.

Suku Dhani tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari kayu dan alang-alang dengan atap menyerupai kubah dari alang-alang yang disebut Honai. Honai dibuat rendah dan biasanya memiliki tungku perapian untuk mengurangi udara dingin. Honai harganya cukup mahal, namun menjadi sebuah keharusan untuk membangunnya melengkapi bangunan utama. Dalam suatu suku, honai biasanya diperuntukkan berbeda-beda untuk ruang tidur, ataupun dapur. Seorang kepala suku Dhani biasanya memiliki istri lebih dari satu dan memiliki tungku masak sesuai dengan jumlah istrinya.

Perkembangan zaman secara tidak langsung mengubah kehidupan suku Dhani. Mereka kini sudah mengenakan pakaian seperti orang kebanyakan. Dimataku, dominasi peran wanita suku Dhani sangat penting. Sepanjang perjalanan, yang terlihat lebih banyak Mamak-mamak daripada pria dewasa. Mereka menggendong noken di kepalanya membawa berbagai perbekalan, entah itu sayur-mayur, ubi, hingga kayu bakar. Mereka berjalan jauh tanpa alas kaki. Lalu, di beberapa sudut mereka berkumpul di tempat yang cukup teduh dengan tangan lihai merajut simpul khas Wamena untuk dijadikan sebuah noken.

“Mamak Lauk”.

Salam khas Wamena saat kita bertemu dengan Mamak di jalan. Mereka akan menyunggingkan senyumnya kepada kita. Di Pasar, hampir semua penjualnya adalah Mamak-mamak. Mereka sudah sejak subuh menerjang dinginnya udara pagi Wamena menggendong berbagai sayur mayur hasil kebun sendiri untuk dijajakan di pasar.

Di kebun, Mamak-mamak pun mendominasi. Menanami kebun sayur-mayur yang tumbuh subur. Mamak-mamak di bawah terik matahari berjalan menggendong noken yang berisi kayu bakar sebagai bahan bakar tungku atau perapian. Mereka juga yang bertugas mengasuh anak-anaknya. Suatu ketika usai perayaan festival, kulihat di tengah gerimis, Seorang Mamak dengan kedua anaknya hendak pulang ke rumah. Si kecil dinaikkannya di lehernya, sedangkan kakaknya digandengnya. Saat salah satu anaknya meninggal, ia juga yang harus merelakan ruas jarinya dipotong sebagai pengorbanan.

Di tengah modernitas zaman yang kian pesat, mereka (suku Dhani) berjuang untuk terus mempertahankan budayanya, melestarikannya sebagai sebuah warisan budaya yang terus dilestarikan.
---

Minoritas di Timur Matahari

Sekolah MI di Welesi
Sekolah MI di Welesi

Sore hari sebelum menutup perjalanan di hari terakhir, kami berkunjung ke Welesi, suatu distrik dekat dengan tempat perayaan festival. Tujuan kami adalah sebuah pesantren yang terletak di Distrik Welesi. Sebelum tiba, dari kaca jendela mobil seorang anak lokal memanggil ‘Pak Ustadz’ yang ditujukan pada salah satu teman kami, Mas Habibie yang pernah mengabdikan dirinya selama 2 tahun untuk mengajar di pesantren tersebut.
Pesentren Al-Istiqomah, satu-satunya pesantren yang berada di Wamena, (mungkin) Papua. Kondisinya tak seperti pesantren kebanyakan. Ruang besar dengan tempat tidur memanjang disertai kasur untuk tempat tidur siswanya, sebuah ruang yang lebih kecil dari ruangan tempat tidur disertai meja dan kursi sebagai ruang serbaguna. Maksudnya ruangan ini selain digunakan sebagai ruang kelas, juga sebagai ruang makan dan berkumpul yang digunakan secara bergantian. Dapur di bagian belakang dengan tungku api, disekitarnya kardus indomie dan sebotol minyak goreng yang sudah jenuh, berwarna putih dan memadat karena udara dingin.
Di bagian depan merupakan ruang sekretariat dan ruang guru. Tumpukan pepsodent yang masih fresh dengan kardusnya tersusun rapi. Sumbangan dari warga yang datang. Pesantren ini mempunyai sekitar 70 orang siswa, dengan siswa tertua setingkat Madrasah Tsanawiyah (Mts). Dekat dengan pesantren sebuah masjid dan sebuah sekolah Madrasah Ibtida’iyah. Tak jauh dari situ sebuah rumah bagi anggota TNI disiapkan untuk menjaga masjid dan juga pesantren dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Mayoritas penduduk Wamena adalah Kristen. Sebagai muslim, kami adalah minoritas. Tidak salah. Kerena agama adalah hak asasi manusia. Menjadi muslim di Wamena mengajarkan kita untuk belajar toleransi. Menghargai bahwa kita masing-masing bebas memilih kepercayaan yang kita yakini. Beberapa siswa pesantren memiliki orang tua yang bukan muslim. Namun, orang tua mereka mengizinkan mereka untuk belajar di pesantren dengan harapan kelak mereka bisa memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik. Sebagai minoritas, kaum muslim pendatang di kota pun turut membantu agar kaum muslim di Welesi juga memiliki tingkat kehidupan yang layak. Mereka melakukan upgrading dan juga memberikan bantuan kebutuhan pokok bagi kelangsungan pesantren.
Berbeda, apalagi minoritas memang terlihat aneh. Itulah mungkin yang dirasakan oleh siswa pesantren di awal ketika siswi putri mulai mengenakan hijab. Kata Mas Habibie dulunya anak-anak perempuan masih malu untuk mengenakan hijab, hanya di lingkungan pesantren saja. Saat pergi ke kota hijab nya di lepas karena belum terbiasa dan merasa aneh. Namun, di festival itu saat melihat beberapa murid Mas Habibie sudah mengenakan jilbab terasa begitu menggembirakan. Mereka berproses dan terbiasa. Di barisan laki-lakinya pun terlihat mengenakan celana untuk menutupi auratnya.
---


Epilog

Tanah Papua tanah yang kaya / Surga kecil jatuh ke bumi / Seluas tanah sebanyak madu/adalah harta harapan. Tanah papua tanah leluhur/ Disana aku lahir/ Bersama angin bersama daun/ Aku di besarkan.

Hitam kulit keriting rambut aku papua/ Biar nanti langit terbelah aku papua.
Penggalan lagu ‘Tanah Papua’ dari Edo Kondologit tersebut menjadi pengingat kita betapa tanah papua adalah tanah yang kaya dengan daya tariknya tersendiri. Aku belum pernah memikirkan kapan aku bisa menjejak ke tanah papua sebelumnya. Pengalaman mengikuti Festival Budaya Lembah Baliem 2016 menjadi pengalaman yang luar biasa. Menyadari bahwa di bagian paling timur Indonesia sana, masih memerlukan banyak sekali sentuhan kemajuan peradaban. Sempat bertanya dalam diri, ‘Apakah saya siap untuk mengabdikan diri membangun Indonesia bagian timur sana? Dengan segala keterbatasannya, meninggalkan semua akses kemudahan yang ada di tanah jawa?’
Teruslah ayunkan langkah kaki menjejak tempat-tempat baru yang belum pernah kau singgahi sebelumnya. Bertemu dengan orang-orang baru yang belum pernah kau temui sebelumnya. Teruslah bergerak untuk kemajuan Indonesia. Selamat berpetualang! :)
Lihat video Festival Lembah Baliem disini :



Video dari IMS Net TV





Video dari panitia FBLB 2016

https://www.youtube.com/watch?v=HsgRwanPub0

Disclaimer:
Tulisan ini adalah perspektif penulis. Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan, data yang tidak tepat, dll.
Catatan yang sempat terhenti sejenak beberapa saat dan terlupakn, akhirnya selesai dituntaskan.
Depok, Agustus 2016,
Credit : Special thanks for Mas Abdullah Faqih for the chance given to me. Dari yang awalnya ragu, hingga nekad. Thanks a lot ya! :). Juga teman-teman baru a.k.a Tim Media selama di Wamena ; Mbak Andini, Mas Habibie, Mas Hari, Mas Anas, Mas Vidi, Mas Abe, Mbak Ollie, dan Mbak Widia. Hope to see you again in another time! :) and the last for the government and the commitee of Baliem Valley Cultural Festival 2016 who have been invited us to join the event. Thank you so much! :)
Connect